Medea

Berita itu menyesakkan. Koran di tanganku terselip jatuh ke lantai. Begitu banyak peristiwa kematian yang diberitakan di koran-koran. Semua lewat sekilas seperti kereta api yang melintas. Hanya meninggalkan desis angin dan debu yang menderu sebentar. Aku pun tidak pernah begitu peduli. Tapi berita yang kubaca kali ini  membuatku mual. Mungkin karena aku mengenal mereka. Hm…tidak juga sebenarnya. Tapi setidaknya, aku tahu enigma yang membayangi mereka.

Aku ingat terakhir kali aku melihat Delia. Hari jumat yang berakhir seperti hari jumat lainnya di minggu-minggu sebelumnya. Debu sedang bermain-main dengan angin. Pak Tole sedang menyapu daun-daun gugur di tepi lapangan untuk kemudian dibakar.  Hari menjelang senja. Pada umumnya anak-anak sudah pulang kerumah masing-masing. Yang tersisa, seperti biasa adalah mereka yang masih ingin bermain.

Kecuali Delia.

Tidak seperti semua anak-anak sekolah yang biasa pulang sendiri usai lonceng bubar berbunyi, Delia selalu menunggu dijemput ibunya. Tak terkecuali hari itu.

Aku sendiri sebetulnya sudah tamat sekolah menengah atas dan sedang menunggu pengumuman lulus dari universitas di kota propinsi. Hari itu seperti biasa, aku hanya ingin berkumpul dengan teman-teman alumni sambil petantang-petenteng di sekolah yang pernah menjadi wilayah kekuasaan kami. Aku tentu saja melihat Delia bermain di antara kawan-kawannya. Tapi aku sedang asyik ngobrol dengan pak Tole ketika peristiwa itu terjadi tanpa  ada yang sempat mencegah.

Aku tidak menyadari kehadiran ibu Delia di lapangan itu. Yang aku tahu kemudian, lapangan yang tadinya riuh dengan suara anak-anak bermain itu tiba-tiba sunyi. Seruni, ibu Delia berdiri di tengah lapangan sambil bertolak pinggang di depan Delia. Waktu seperti berhenti di lapangan berdebu itu.

Senyap yang tiba-tiba itu pecah dengan tamparan di wajah Delia. Semua terjadi dengan cepat. Saat efek kejutan dari peristiwa itu lewat, Seruni sudah menyeret Delia pulang bersamanya. Kami semua yang ada di lapangan itu hanya saling memandang.

Aku memikirkan nasib Delia. Kemungkinan Delia akan dihukum dengan tidak membiarkannya hadir di sekolah. Sejak Delia datang di sekolah kami waktu aku masih menjadi siswa sekolah menengah atas, aku merasa Seruni tidak suka Delia sekolah di situ, namun tidak punya pilihan lain. Maklum, sekolah ini adalah satu-satunya sekolah yang ada di kota kami. Dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, semua tergabung jadi satu. Sebagai salah satu dari angkatan paling senior kala itu, aku tahu semua berita-berita terbaru di setiap kelas .

Sejak kedatangannya ke sekolah kami beberapa bulan lalu, Delia langsung menjadi gadis popular. Sebelumnya, kepala sekolah dan guru-guru menghimbau agar semua murid-murid di sekolah itu tanpa kecuali, menyambut dengan baik seorang murid istimewa.  Aku ingat betul kata-kata ibu Kepala Sekolah.

“Ibu berharap, kalian mengerti kondisinya dan tidak menjadikannya bahan olok-olokan. Tunjukkan bahwa kalian sudah kami didik dengan baik. Meskipun ia tidak sempurna, kalian tetap harus menghormati dan menghargainya seperti teman-teman kalian yang lain”.

Setelah pengarahan itu, murid istimewa yang dimaksud tak kunjung datang. Aku sudah hampir lupa himbauan itu karena sibuk mempersiapkan ujian akhir. Tanpa pertanda,  di musim penghujan, murid itu bersama ibunya akhirnya tiba.

oOo

Kedatangan mereka tidak hanya menghebohkan sekolah kami namun juga menimbulkan desas desus di seluruh kota.  Tidak hanya karena Delia berbeda, tapi juga karena keluarga Delia memang berbeda.

Delia tidak punya ayah. Tidak ada yang tahu tentang ayahnya. Ia satu-satunya murid di sekolah yang datang dan pulang diantar dengan mobil hitam mewah bermerek BMW. Maklum, mereka yang bersekolah di sekolah ini pada umumnya adalah anak-anak nelayan dan pegawai negeri rendahan yang selalu berjalan kaki atau naik sepeda butut ke sekolah. Kadang-kadang ada juga orang tua yang mengantar anaknya dengan sepeda motor berplat merah, itupun bisa dihitung dengan jari.

Kehadiran Delia yang selalu diiringi mobil mewah di kota kecil ini tentu menjadi pemandangan mencolok. Kami selalu berpikir bahwa mobil-mobil mewah seperti itu hanya ada di ibukota. Bagi sebagian dari kami, ibukota saja jaraknya nyaris tak terjembatani imajinasi. Apalagi mobil mewah seperti itu.

Tak heran jika Delia langsung menjadi pusat perhatian. Dari murid sekolah dasar hingga sekolah menengah atas seperti aku ikut menyambut kedatangannya. Aku masih ingat betapa Delia ketakutan keluar dari mobil ketika kami semua datang berkerumun di depan gerbang sekolah. Ibunyalah yang pertama kali membuat kami semua seperti tersihir. Pak Tole yang biasanya unjuk wibawa dalam situasi-situasi tak terduga ikut terpana bersama kami.

Aku ingat betul seorang perempuan cantik bergaun biru dengan kaki jenjang yang mulus bersepatu hak tinggi. Kedua mata perempuan itu  tersembunyi di balik kacamata hitam dengan gagang besar. Rambutnya panjang sebahu ditata dengan elegan dan tidak mempan dengan angin kencang.

Pak Tole yang berusaha menahan anak-anak agar tidak saling tumpang tindih dengan norak terpaksa menahan ludah. Tak pernah ada perempuan secantik dan sementereng itu di kota kami. Bahkan Endang Kusumawati, penyanyi andalan di kota kami yang sering tampil di TVRI kalah jauh dari perempuan ini.

Perempuan yang kemudian kami kenal sebagai Seruni itu akhirnya keluar bersama seorang gadis kecil yang menangis terisak-isak ketakutan. Ibu Kepala Sekolah berusaha menenangkan gadis kecil berumur sepuluh tahun yang melengket di pinggang ibunya. Perempuan cantik itu berusaha melepaskan pelukan erat di pinggangnya sambil menyodorkan tangan ke ibu Kepala Sekolah.

Saat itulah aku melihat Delia pertama kalinya. Gadis berkulit putih bersih, bermata sipit berhidung nyaris datar dengan dagu kecil. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah seperti itu. Belakangan aku baru tahu, Delia mengidap down syndrome. Di kota ini, tidak banyak yang paham betul apa itu down syndrome.

Delia dan Seruni langsung menjadi bahan pembicaraan di seluruh penjuru kota. Cerita-cerita fantastis pun tersebar hingga ke desa-desa sekitar. Banyak yang menganggap, Delia dikutuk akibat perselingkuhan ibunya dengan pria yang bukan suaminya. Ada juga yang bilang bahwa ibunya hamil oleh alien, mahluk asing dari angkasa. Beberapa beranggapan bahwa Delia dibawa ke kota terpencil ini untuk disembunyikan. Tak sedikit juga yang menduga kalau Delia adalah anak iblis.

Apapun kata orang, bagiku Delia adalah gadis manis yang baik. Awalnya anak-anak di sekolah kami memang agak kerepotan berusaha mengajaknya bermain bersama. Kami sering terpesona dengan kulit Delia yang putih mulus dan garis wajahnya yang lembut. Delia sangat menonjol dibandingkan dengan gadis-gadis kecil yang pada umumnya berkulit hitam kasar terbakar matahari,

Dari segi penampilan, terlihat bahwa gadis itu dirawat dengan sangat baik. Meskipun ia mengenakan seragam sekolah seperti anak-anak yang lain, penampilan Delia juga terlihat berbeda. Rambutnya selalu disisir rapi dan mengkilat persis seperti tatanan rambut dari salon. Seragamnya selalu terlihat paling rapi dan mengkilat.  Sayangnya, ia gadis pemalu yang tidak banyak bicara. Tapi ia senang tertawa.

Seperti instruksi dari ibu kepala sekolah, kami semua memperlakukan Delia sewajarnya seperti teman kami yang lain. Terlepas dari fisiknya, Delia senang bermain bersama, main petak umpet, ikut kejar-kejaran dengan anak-anak yang lebih kecil, suka bermain lumpur usai hujan deras dan ikut makan ubi bakar di belakang sekolah.  Hanya selang beberapa minggu, ia sudah menjadi bagian dari sekolah kami. Down syndrome yang di deritanya tidak menghambat ia bergaul dengan siapa saja, termasuk aku yang lebih tua. Setahuku, Delia adalah anak paling bahagia yang pernah aku kenal.

oOo

Menurut adikku yang masih bersekolah di sekolah menengah pertama, beberapa bulan sebelum Delia akhirnya benar-benar berhenti datang ke sekolah, ia sering terlihat lesu dan mengantuk. Beberapa kali, ibu guru juga terlihat khawatir melihat lebam-lebam yang samar-samar di wajah Delia.

Rumor beredar bahwa ibu guru pernah menyampaikan kekhawatirannya kepada Seruni. Namun, kata adikku, ibu guru malah mendapat ceramah panjang tentang bagaimana seharusnya menjaga dan mengawasi seorang anak istimewa yang mengidap down syndrome.

Seruni menuduh pihak sekolah tidak memperhatikan anjurannya agar Delia harus diawasi dengan ketat. Bahwa Delia harus makan sesuai yang dianjurkan oleh dokternya di ibukota dan ia tidak boleh dibiarkan bermain-main di tempat sembarangan karena virus-virus atau bakteri akan mudah menyerang tubuh Delia yang rentan. Delia memang sering sakit.

Seiring dengan gejala-gejala lesu dan lebam-lebam yang makin sering terlihat nyata, Delia makin sering absen. Aku pernah curiga bahwa Delia sering dipukuli ibunya. Meskipun ibu guru tidak pernah mengatakan langsung, aku juga yakin, ibu guru merasa ada sesuatu yang terjadi pada Delia. Tapi setiap kali Delia kembali ke sekolah, Delia akan kembali ceria seperti biasa dan bermain seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Kecurigaanku kemudian mereda setelah Lukman, kakak kelasku yang sedang kuliah di ibukota propinsi, pulang membawa setumpuk majalah-majalah tua yang memajang foto-foto Seruni. Dari artikel-artikel di majalah itulah kami semua paham bahwa Seruni adalah seorang pengusaha sukses yang mampu mengembangkan jaringan bisnis pakaian jadinya hingga keluar negeri. Majalah-majalah itu memasang foto-foto Seruni di berbagai event-event fashion show di manca negera.

Di salah satu majalah itu kami membaca bahwa Seruni yang lama membujang akhirnya memutuskan menikah di usia 35 tahun dengan lelaki pilihan orang tuanya. Itupun setelah gonjang-ganjing tentang hubungaan istimewanya dengan seorang fotografer ternama bernama Delia Pokahontas mulai diekspos media infotainment. Delia Pokahontas kemudian kedapatan bunuh diri di malam pernikahannya dengan seorang pengusaha media.

Setelah menikah, Seruni ditakdirkan untuk mengikuti jejak perempuan-perempuan pendahulunya. Seruni kemudian hamil. Sayang, kebahagiaan orang tua Seruni berkat kehamilan anak semata wayang mereka (dan juga mungkin berkat kematian Delia Pokahontas) terpaksa menggantung.

Di usia kandungan Seruni yang menginjak empat bulan, dokter kandungan mengisyaratkan kemungkinan bayi dalam kandungannya mengidap down syndrome. Dengan mempertimbangkan segala konsekuensi dan resiko memiliki anak pengidap down syndrome, suami dan orang tua Seruni menyarankan agar Seruni menggugurkan saja bayi itu. Tapi Seruni melihat bayi itu sebagai kesempatan untuk memberontak terhadap orang tua dan suaminya. Ia memutuskan untuk mempertahankan bayi yang kemudian hari ia beri nama, Delia.

Sebagai figur publik, segala hal yang menyangkut Seruni tidak pernah luput dari pemberitaan media. Tekadnya untuk tetap melahirkan bayi itu di puji-puji sebagai tindakan suci. Media ramai-ramai menghujat suami Seruni ketika mereka kemudian bercerai. Delia, pun tak luput dari pemberitaan.

Setiap kali Seruni terlihat mengunjungi dokter spesialis anak, media-media berspekulasi tentang kesehatan Delia. Jika Seruni terlihat lelah di salah satu acara fashion show, maka media-media akan memaklumi betapa besar usaha Seruni untuk tetap eksis di dunia bisnis sambil tetap mengurus anak semata wayangnya sendirian.

Ketika Delia akhirnya masuk sekolah dasar terbaik dan termahal di ibukota, media-media mengelu-elukan Seruni sebagai ibu yang memperjuangkan hak anaknya untuk masuk sekolah seperti anak-anak normal lainnya. Seruni di daulat menjadi pembicara di forum-forum yang membahas tentang down syndrome dan bagaimana menghadapinya. Media-media mengangkatnya sebagai ikon pejuang dan pemerhati hak-hak penderita down syndrome.

Sayangnya, kepopuleran itu tidak berlangsung lama. Semuanya berawal dari sebuah laporan tabloid yang mengungkap bahwa Delia hanya ditemani oleh babysitter di pesta tahunan sekolah elit yang pada umumnya dihadiri orang tua murid yang terpandang. Malam itu, Delia seharusnya tampil sebagai Ariel, si putri duyung, di acara teater sekolah. Belum lagi gilirannya tiba, Delia ambruk di belakang panggung. Seruni sedang berada di New York malam itu.

Sejak peristiwa pesta sekolah itu, media-media infotainment mulai mengendus-endus kegiatan perempuan yang pernah mereka nobatkan sebagai Wanita Teladan Abad ini. Sebuah tabloid wanita ternama memuat artikel yang menyudutkan Seruni karena mendapat keterangan bahwa Seruni tidak pernah memberi makan sendiri anaknya. Artikel itu dilengkapi dengan tips-tips bagaimana merawat seorang anak yang mengidap down syndrome.

Berturut-turut jurnalis-jurnalis lain melaporkan bahwa Seruni tidak pernah membaca buku cerita sebelum tidur untuk Delia. Seruni tidak pernah bermain dengan Delia. Seruni bahkan jarang hadir di acara ulang tahun anaknya sendiri. Hingga terungkap bahwa Seruni yang selama ini dipuji-puji sebagai ibu teladan ternyata tidak pernah terlibat langsung dengan pertumbuhan dan pendidikan anaknya.

Salah satu artikel di majalah yang kami baca melaporkan acara jumpa pers di mana Seruni dengan berlinang airmata memberi penjelasan di depan puluhan mikrofon. Beritanya kurang lebih seperti ini :

Seruni Mengamuk Di Depan Wartawan. Meminta Masyarakat Maklum karena ia Janda.

“Anda semua harus maklum, saya janda. Saya harus menanggung beban hidup saya sendiri dengan Delia.    Saya mungkin tidak pernah menyuapi Delia dengan tangan saya sendiri. Tapi saya bekerja untuk memastikan bahwa Delia mendapatkan perawatan dan pendidikan terbaik. Saya menggaji pengasuh terbaik, guru terbaik, kineterapis terbaik untuk Delia. Saya tidak pernah menyia-nyiakan anak saya seperti yang kalian tulis di media-media.”

Lalu salah seorang wartawan kemudian bertanya : “Apakah anda tidak menyesal membiarkan anak anda begitu saja di tangan babysitter?”

Pertanyaan itu dijawab Seruni dengan melemparkan beberapa mikrofon ke arah wartawan lalu berteriak, “Menyesal ?!. Saya tidak pernah menyesal ! Saya hanya menyesal kenapa saya harus repot-repot membuat jumpa pers ini !”

oOo

Sejak membaca semua berita-berita mengenai Seruni dan Delia, aku lantas merasa bersalah telah menaruh curiga kepada Seruni. Aku berkesimpulan bahwa Seruni memang sengaja datang ke kota kami yang terpencil agar ia bisa tenang bersama Delia. Tidak seharusnya aku ikut curiga atau menghakimi Seruni meski hanya lewat pikiran.

Sesekali aku masih berkunjung ke sekolah dan mendengar berbagai cerita tentang Delia. Adikku bilang, karena Delia sering sakit, beberapa teman kelasnya berusaha mencari tahu dengan berkunjung ke rumah Delia yang berada di dataran tinggi persis berhadapan dengan laut. Tapi usaha mereka sia-sia. Seruni selalu menghalau siapapun yang datang untuk menemui Delia. Walaupun makin jarang, Delia tetap datang kesekolah. Hingga hari jumat itu.

Beberapa minggu setelahnya, aku sudah hampir melupakan peristiwa itu. Aku sedang mempersiapkan barang-barang yang akan aku bawa untuk pindah ke kota propinsi ketika dua orang polisi datang mencariku. Mereka bertanya banyak hal khususnya tentang hari jumat itu. Rupanya, sejak hari itu, Delia tidak pernah lagi datang ke sekolah. Polisi menanyai semua orang yang ada di lapangan hari jumat itu. Seorang nelayan kabarnya melihat mereka berdua di teras rumah mereka yang memang menghadap laut di malam hari pada hari sama. Seruni dan Delia menghilang sejak hari itu.

Penyelidikan polisi membuat kota kami gempar.

Pencarian polisi berawal dari datangnya seorang wartawan ibukota yang berhasil melacak keberadaan Seruni dan Delia. Wartawan itu datang menemui ibu Kepala Sekolah. Ia juga bertanya kepada pak Lurah dan pak Camat. Mereka semua menganjurkan agar wartawan itu datang saja ke rumah Seruni di tepi tebing.

Wartawan itu datang bertamu tapi tak membawa hasil. Rumah itu seperti tak berpenghuni. Setelah berhari-hari menunggu, kadang di sekolah, kadang di rumah Seruni, sang wartawan kehabisan sabar. Ia curiga. Rumah itu memang kosong tapi mobil BMW Seruni terparkir di halaman.

Beberapa kali, wartawan itu juga mendengar dering telpon yang diabaikan. Sebulan berlalu, entah bagaimana caranya, wartawan itu berhasil meyakinkan polisi setempat bahwa ada yang tidak beres dengan rumah itu. Aku tidak lagi mengikuti perkembangan penyelidikan polisi ketika secara tidak sengaja aku membaca di sebuah koran dengan judul bombastis:

Seorang Wanita Ditemukan Membusuk Di Dalam Rumahnya Sendiri.

Setelah sebulan dianggap hilang, seorang wanita berinisial S ditemukan membusuk di dalam kamar tidurnya. Anak perempuannya berumur kurang lebih 11 tahun pengidap down syndrome  juga ditemukan sudah membusuk di sampingnya.  Polisi masih menyelidiki kasus ini…

Aku tidak sanggup membaca berita itu lebih jauh. Menemani berita itu terpampang foto dua mayat dengan bagian wajah yang dikaburkan. Keduanya mengenakan pakaian putih layaknya sepasang pengantin dengan hiasan bunga kamboja yang menguning di kepala mereka. Seperti kedatangan mereka ke kota kami, kematian mereka menimbulkan desas desus tak berujung dan tak berpangkal.***

Leave a Comment