Sukab dan Miley

©AsmayaniKusrini

Oleh: Asmayani Kusrini

Malam itu, Sukab dikebiri. Entah di tahun berapa. Entah di bulan apa. Tapi samar-samar iya ingat sesuatu. Ia sedang istirahat di Taman Gethsemane di kaki Gunung Olives bersama Isa dan kawan-kawan lainnya ketika pasukan tentara yang dipimpin Letnan Kolonel Kurawa datang menyergap. Sukab sebetulnya bingung, bagaimana bisa ia sampai di Gethsemane?

Selama hidupnya, satu-satunya perjalanan yang pernah ia lakukan adalah ketika ia harus meninggalkan tanah kelahirannya di pegunungan Mamasa menuju ibukota. Perjalanan melelahkan lewat jalan darat dan laut yang membuatnya gelisah tak terkira. Sejak itu, Sukab takut melihat bus atau mobil yang tiba-tiba berhenti di depan rumah. Ia juga takut ketika melihat orang berbenah. Seperti ketika ibunya sibuk membungkus pakaiannya dengan sarung. “Nasibmu akan lebih baik di ibukota. Tak ada yang akan mengejek mukamu yang dungu.” Setelah itu ia dibawa pergi, begitu saja. Tanpa selamat tinggal.

Lalu mengapa ia ada di Gethsamane? Apalagi alasan ibunya mengirimnya kesini? Sukab ketakutan memikirkan bagaimana ia sampai di situ. Pikir Sukab, ia dibawa ke sini ketika tidur. Dulu, seorang di dalam bus terpaksa menonjoknya hingga pingsan karena tak henti meraung-raung memaksa turun dari bus. Bagaimanapun caranya ia sampai di sini, Sukab tak sempat berpikir lagi. Penyergapan yang begitu cepat itu membuat Sukab tersedak dan anggur yang sedang diteguknya tersesat ke lubang hidung.

Taman Gethsemane tiba-tiba dipenuhi tentara yang mengelilingi mereka yang sedang melepas lelah setelah perjalanan panjang dari Bethany. Malam itu Isa ditangkap karena dianggap makar. Dan bagaimana pula ia kenal Isa?  Sukab berusaha mengingat siapa Isa. Ah ya ! Isa kenalan ibunya. Ibu sering bercerita tentang Isa. Kata ibu, Isa sering disiksa karena menolong orang. Isa adalah sang penolong. Setiap kali susah, Sukab harus ingat Isa. Tapi Sukab tidak tahu lagi siapa Isa sesungguhnya.

Isa babak belur dipukuli tentara. Dan Sukab kena batunya juga. Sukab tidak mengerti mengapa ia ikut dipingpong pula dengan sepatu boot hitam bersol keras. Ia hanya bisa meringkuk melingkar seperti udang yang habis direbus. Sukab merasa mau mati saja. Lebam-lebam akibat tonjokan benda-benda keras bertubi-tubi membuatnya menggelinding seperti bongkahan batu.

Lalu rombongan tentara lain datang membawa dua gelondongan kayu. Mereka lantas mengikatkan gelondongan itu di punggung Isa dan Sukab, sementara tangan mereka diikat kebelakang. Mereka digiring menuju tanah antah berantah dengan beban di punggung. Sukab berjalan setengah membungkuk, bukan hanya karena gelondong kayu itu terlalu besar dibanding ukuran tubuhnya, tapi ia sungguh kesakitan hingga ketulang-tulang.

Di pertengahan jalan, mereka dipisahkan. Sukab sempat memandang ke arah Isa. Namun Isa yang juga tengah menahan sakit tak terperih jatuh tersungkur. Sukab ingin menolongnya berdiri, namun ia terlanjur ditarik ke arah yang berlawanan.  Tendangan di pantatnya membuat Sukab mengurungkan niat untuk mengejar Isa dan rombongannya yang makin menjauh. Sukab lalu berjalan sendiri ke arah yang dipaksakan itu. Beberapa tentara ikut bersamanya. Sepanjang jalan itu, orang-orang melemparinya dengan tomat, telur busuk, batu atau apa saja yang bisa mereka lemparkan. Luka-lukanya makin perih.

Orang-orang itu berteriak-teriak. Mengumpatnya dengan kata-kata kasar. Sukab semakin tidak mengerti, mengapa orang-orang itu begitu marah padanya. Apa yang sudah ia lakukan? Ia hanyalah tukang kebun. Sejak Sukab dibawa ke ibu kota oleh pamannya lima belas tahun lalu, ia sudah menjadi tukang kebun. Ia tak bisa melakukan pekerjaan lain selain menjadi tukang kebun.

“Penghianat !” Seru suara dari kerumunan sambil melemparinya dengan jeruk.

“Lelaki mesum !” yang lain menimpali.

“Biadab !” sahut seorang perempuan yang tiba-tiba berlari ke arahnya dan melemparinya dengan sebongah adonan hijau kehitaman. Sukab tersungkur. Hidungnya mencium bau yang sudah tidak asing. Tai sapi. Pandangannya terhalang tai sapi yang masih segar.

“Beraninya sama anak kecil !” kata perempuan yang melemparinya tai.

“Potong saja burungnya yang tak tahu malu !” kata orang yang ikut di belakang perempuan itu.

“Kalau berani, ini bertarung dengan burungku,” teriak seorang lelaki di antara mereka yang tiba-tiba menghadang di depannya sambil membuka celana memperlihatkan burungnya. Lelaki itu lalu kencing tepat di depannya. Cipratan air seninya mampir tak ragu-ragu di wajah Sukab yang masih belepotan tai sapi.

Orang-orang yang menyaksikan itu tertawa-tawa. Laki-laki, perempuan, anak-anak hingga manula. Semua tertawa mengejek. Ingin rasanya Sukab lari menghantam lelaki kurang ajar  yang menyeringai seperti serigala kelaparan. Para tentara itu membiarkan saja perbuatan lelaki itu. Mereka bahkan ikut tertawa ketika seorang lelaki lain berlari ketengah jalan dan memperlihatkan bokongnya yang hitam dan kudisan di depan hidung Sukab.

Sukab sakit hati. Mulai sekarang, ia pun akan takut dengan tentara. Tapi ia bisa apa? Beban salib gelondongan di punggungnya membuat gerakannya terbatas. Cemohan orang-orang yang seperti siap ikut menerkam membuatnya hanya bisa membungkukkan kepala, berusaha menghindari lemparan benda-benda dari arah penonton di jalanan.

Seekor anjing putih yang mirip serigala terlihat muncul di antara kerumunan. Orang-orang yang melihatnya agak mundur. Anjing itu berdiri sejenak memandang Sukab dari tepi jalan. Lalu  anjing eskimo itu ikut mengiringi rombongan Sukab. Ia melenggang dengan anggun tak jauh dari Sukab. Orang-orang yang tadinya berteriak-teriak histeris mengumpat akhirnya segan mengganggu lelaki pesakitan itu.

Kehadiran anjing eskimo itu membuat dada Sukab berdebar-debar. Ia kenal betul dengan anjing itu. Justin, anjing kesayangan Miley. Di mana ada Justin, di situ ada Miley. Begitu pula sebaliknya. Sukab berusaha mencari wajah Miley di antara jejeran wajah-wajah haus darah yang tak dikenalnya. Tapi lehernya tidak sanggup untuk menengadah. Dengan kekuatan yang masih tersisa, Sukab berusaha menyapa Justin melalui tatapan mata. Ia ingin bertanya di mana Miley. Namun yang terdengar dari kerongkongannya hanya erangan yang menyedihkan.

Justin yang mendengar erangan itu menegakkan telinganya. Dan seperti mengerti pertanyaan Sukab, Justin tiba-tiba berjalan agak tergesa ke depan lalu berhenti di satu titik, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dengan susah payah, Sukab mengikuti arah kepala Justin.

Di atas dahan pohon jambu air, Miley bertengger. Ia cantik dengan celana pendek jeans yang robek hingga nyaris memperlihatkan buah pantatnya. Miley mengenakan t-shirt ketat yang memperlihatkan udelnya. T-shirt bergambar kepala Miley Cyrus dengan lidah menjulur keluar itu seperti sedang mengejek Sukab.

Dari jalanan berdebu tempatnya berdiri, Sukab melihat Miley seperti bidadari dengan senyumnya yang binal. Atau seperti iblis dengan tatapan matanya yang bak bidadari.   Senyum itu mengingatkannya pada hari hari ketika ia tak sengaja memergoki Miley melenggak-lenggok telanjang di tepi kolam renang yang baru saja dibersihkannya.

Bersama teman-temannya Miley sering mengadakan pesta di rumahnya yang seperti istana. Seringkali geng Miley memutar video klip penyanyi-penyanyi popular jaman sekarang. Mereka akan mengikuti gaya seronok di video klip tersebut, melenggak-lenggok lentur seperti permen karet yang bisa dikunyah-kunyah dengan mudah.  Mereka juga sering ikut memakai pakaian yang sama persis dengan penyanyi yang mereka tiru.

Pernah, Miley muncul di dapur dengan hanya berkutang dan celana dalam motif harimau. Sukab sedang memasang balon lampu. Ia hampir jatuh dari tangga melihat Miley melenggang setengah telanjang.

“Neng Miley…aduuuhhhh pake baju nak kalau mau masuk ke sini,” teriak ibu Nunik khawatir, kaget dan bingung dengan tingkah majikannya itu.

“Loh bu Nunik gimana sih. Ini kan baju saya, bu. Model keluaran baru. Udah gak jaman baju model perangkap. Panas begini lagi. Lagian ini kan rumah saya. Saya pake baju suka-suka saya dong,” kata Miley sambil mencolek dagu ibu Nunik. Ia tertawa dengan kecentilan yang dibuat-buat untuk menggoda ibu Nunik. Sukab menelan ludah. Jakunnya turun naik. Ibu Nunik menatapnya dengan tatapan berang.

“Awas kamu kalau berpikiran macam-macam. Kulaporkan ke pak Jendral nanti,” katanya galak. Sukab langsung menunduk, menghindari tatapan ibu Nunik.

Rumah yang menurut perkiraan Sukab seluas dan semegah istana merdeka itu memang rumah Miley. Pemberian dari pak Jendral. Di rumah itu, Miley ditemani Ibu Nunik, inang pengasuh yang akan menyediakan apa saja kebutuhannya, seorang supir yang siap mengantarnya kemana saja, dan dua orang tukang masak yang siap memasakkan makanan kesukaannya. Selain itu ada Sukab dan suami istri Sarungan, paman dan bibi Sukab, yang bertanggung jawab atas kebersihan rumah dan tanah luas di sekitarnya.

Para pekerja di rumah itu tinggal di sebuah gedung lain di belakang garasi yang sering mereka sebut asrama. Sang Jenderal dan istri keempatnya, ibu Miley, lebih memilih tinggal di istana mereka yang lain di pinggiran ibukota. Rumah besar di pusat kota itu hanya diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan politik dan bisnis. Di umurnya yang ke empat belas, Miley dengan berbagai cara memohon agar diijinkan tinggal di rumah itu. « Kan Papa sama Mama bisa ke sini kapan saja setiap minggu, » rengek Miley dengan manja.

Akhirnya, Sang Jenderal dan istrinya setuju. Di bulan-bulan awal, mereka sering datang menjenguk Miley. Seringpula, mereka datang berkunjung tanpa memberitahu dulu. Mereka ingin tahu apakah Miley memang bisa dipercaya untuk tinggal sendiri. Lama-lama mereka yakin, Miley memang sudah siap untuk mandiri. Di umurnya yang ke lima belas, rumah besar itu dinobatkan sebagai Istana Miley.

Sukab sebetulnya jarang masuk ke rumah itu kecuali atas permintaan para pembantu yang bertugas di dalamnya. Biasanya untuk membersihkan langit-langit yang tingginya dua kali lipat langit-langit asrama mereka. Atau memperbaiki saluran air, dan hal-hal kecil lainnya. Tugas utama Sukab adalah memastikan pekarangan yang luasnya nyaris seluas lapangan bola itu selalu tertata rapi. Selain itu ada kolam renang yang harus dibersihkan secara teratur.

Sukab takut masuk di dalam rumah itu kalau tidak perlu. Setiap kali ia memasuki rumah itu, ia selalu melihat hal-hal yang membuatnya gemetar dan berkeringat. Pernah Sukab mendapati Miley sedang berada di pangkuan seorang pemuda berseragam sekolah. Tangan pemuda itu menghilang di balik seragam Miley, sementara gadis itu sibuk mengepulkan asap rokok yang berbau tak biasa. Justin ada di situ, menjulurkan lidahnya yang berliur. Teman-teman Miley yang lain asyik sendiri. Ada yang telentang di lantai sambil mengamati langit-langit dengan tekun. Ada yang memeluk pot pohon palem. Yang lain sibuk bergerombol di sebuah meja bundar dan berebutan serbuk seperti terigu. Mereka tak perduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka.

Sukab tentu saja terbelalak dan buru-buru lari mendapati ibu Nunik. Inang pengasuh Miley itu malah memberi kode agar Sukab tidak usah bikin ribut. Jari telunjuknya ditekankan kuat-kuat di atas bibir lalu menyuruh Sukab pergi dengan lambaian tangannya. Sukab sering mendengar tawa cekikikan Miley dan teman-temannya setiap kali mereka mendapati Sukab gemetar melihat tingkah laku mereka.

Sukab teringat pembicaraan di malam sebelumnya. Sukab baru saja melakukan kewajibannya memastikan semua lampu halaman sudah menyala dan pintu gerbang utama sudah terkunci rapat.

“Ibu harusnya melaporkan ke pak Jendral,” adalah kalimat pertama yang didengar Sukab ketika masuk ke ruang tamu asrama pembantu.

“Kalau ketahuan pak Jendral, kita semua bisa kena bu Nunik,” kata pakdenya. Semua penghuni asrama ada di situ, mendengarkaan dengan serius. Semua menghadap Ibu Nunik.

“Saya takut Pak. Neng Miley ngancem akan menuduh saya fitnah kalau saya berani melapor ke Bapak”.

Mereka semua langsung ingat Margono, supir Miley sebelumnya. Margono memergoki Miley tengah bercumbu di dalam mobil dengan salah seorang teman sekolahnya. Margono langsung melaporkan hal itu ke pak Jendral. Miley marah dan balik menuduh Margono yang justru ingin menggagahinya. “Demi Tuhan, papa, saya masih suci. Silahkan saja periksa sendiri selangkangan saya,” teriak Miley murka. Entah apalagi yang dikatakan Miley hingga pak Jendral percaya.

Penghuni asrama tak  ada yang tahu pasti apa yang sebetulnya terjadi. Beberapa hari kemudian, Margono menghilang begitu saja dari asrama. Menurut Ibu Nunik, Margono dipecat. Tapi seminggu setelah itu, sepotong tangan dengan darah yang mulai mengering tergeletak di atas meja.  Justin juga ada di situ. Entah siapa pelakunya. Mungkin hanya Justin yang tahu.  Penghuni asrama tidak ada yang berani membicarakan hal itu lagi hingga kini.

Seluruh penghuni rumah jadi takut dengan Miley. Di depan orang tuanya, Miley bersikap layaknya anak saleh yang alim. Apalagi ia adalah gadis yang cerdas dan selalu menjadi nomor satu di kelasnya. Tapi begitu pak Jendral dan istrinya menghilang, Miley berubah jadi iblis berwajah bidadari. Kegemarannya berpesta liar membuat semua pelayannya hanya bisa urut dada.

Penghuni asrama sebetulnya selalu bersyukur kalau Miley sibuk dengan teman-temannya. Mereka akan bebas tugas meski selalu khawatir kalau tiba-tiba Pak Jendral datang berkunjung. Mereka juga sudah maklum kalau menemukan kondom terselip di sofa atau jarum suntik yang tersesat di bawah karpet.

Yang mereka takutkan adalah ketika Miley sendirian dan bosan. Saat itulah ia akan mencari mangsa untuk melampiaskan rasa bosannya. Meski tidak ada yang mau mengakui, mereka semua sudah pernah jadi mainan Miley. Justin jadi saksinya. Beberapa kali, Sukab juga jadi saksi.

Miley pernah memotret Ibu Nunik dari berbagai posisi setelah melucuti pakaian perempuan setengah baya itu di sudut tempat tidur. Mata ibu Nunik ditutup dengan kain hitam. Ibu Nunik menangis.

“Neng Miley….ampun. Pecat saja saya nak. Jangan begini,” tersedu-sedu Ibu Nunik memohon. Pipinya yang mulai gembur terlihat basah oleh air mata dari balik kain hitam yang menutup matanya.

“Ibu Nunik begitu saja kok nangis sih. Ini untuk tugas fotografi di sekolah bu. Ibu kan tugasnya membantu saya untuk urusan di rumah maupun di sekolah. Nggak usah cengeng begitu dong. Sebentar lagi selesai,” kata Miley merajuk. Ia tetap sibuk memotret, mengelilingi ibu Nunik yang teronggok seperti pajangan tak bernyawa.

Sukab yang tidak sengaja berada di situ langsung lari ketakutan. Ia bersembunyi di kamarnya dan gemetar seharian. Ia semakin takut masuk rumah itu. Malamnya, ibu Nunik terlihat murung dan tak banyak bicara. Sukab juga pernah melihat Kajo, supir pengganti Margono, keluar dari garasi mobil sambil berlari ketakutan. Saking terburu-buru, Kajo lupa mengancing kemeja dan celananya yang nyaris melorot hingga dengkul. Malamnya, Kajo terlihat murung. Tak ada yang bicara.

Dan hari itu, semua pembantu Miley sibuk berbenah untuk menyambut kedatangan pak Jendral dan istrinya minggu depan. Ibu Nunik dan Kajo pergi berbelanja. Sukab sedang menggemburkan tanah-tanah di dalam pot tanaman ketika Miley tiba-tiba datang ke arahnya sambil tersenyum.

Senyum itu. Senyum seorang remaja yang sedang merekah. Sukab ternganga. Baru kali itulah Miley bicara langsung padanya. Kakinya yang langsing berbalut celana pendek jeans yang robek hingga memperlihatkan celana dalamnya. Tubuhnya yang belum lagi ranum sempurna hanya ditutupi kaos longgar yang bawahnya sudah dipotong hingga udel.  Justin mengekor di belakang.

“Sukab, sini ke lantai dua sebentar,” ajaknya dengan suara ringan. Sukab ragu-ragu. Ia takut. Rumah itu seperti hantu baginya.

“Sukab, ayo. Kamu kenapa sih, aku butuh bantuanmu sebentar,” Miley merenggut. Sambil menunduk dengan enggan, Sukab mengikuti Miley ke lantai dua, bagian rumah yang tidak pernah dijejaki Sukab. Miley menyuruhnya duduk di sebuah sofa yang menghadap jendela. Ia memerintahkan Sukab untuk diam dan tak bergerak.

“Sukab, aku selalu penasaran dengan lelaki bisu dan agak dungu sepertimu. Aku ingin membuktikan teoriku, ah bukan, ini teori ibuku sebetulnya. Ibuku bilang, laki-laki di manapun sama saja. Mereka tak mengenal ras, batas usia, kewarganegaraan, agama, kapasitas otak, dan sebagainya dan sebagainya kalau sudah menyangkut mainan di selangkangan mereka.”

Miley mondar-mandir di depan Sukab layaknya seorang guru sekolah yang sedang memberi pelajaraan biologi. Wajahnya dibuat seserius mungkin. Sukab bingung. Kata-kata Miley tidak begitu ia pahami.

“Nah kamu akan membantuku membuktikan teori itu,” kata Miley sambil mendekati Sukab. Tanpa basa-basi, Miley membuka kancing-kancing kemeja Sukab, pelan dan lembut. Sukab menahan nafas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Begitu Miley mulai membuka kancing celananya, Sukab langsung meringkuk, mencoba menghalangi tangan mungil Miley yang meraba-raba dan mencari-cari di antara kepitan kakinya.

Sukab mengerang. Tanpa dapat ditahannya, benda kecil di antara selangkangannya itu tiba-tiba menghianati ketakutannya terhadap Miley. Sukab merasa sesak nafas. Miley terkikik geli ketika tangannya sampai di tujuan. Sukab semakin terbenam meringkuk di dalam sofa.

“Sukab, jangan seperti anak kecil. Ayo buka kakimu. Nggak apa-apa kok. Aku cuma ingin liat reaksimu kalau kusentuh,” kata Miley membujuk. Wajahnya tersenyum memohon. Tangan lembut Miley mengelus-elusnya sambil berusaha menerobos pertahanan Sukab.

“Aku hanya ingin bermain-main dengan itumu sebentar Sukab. Ayolah. Tidak lama kok.” Miley kembali membujuk.

Sesuatu yang asing merayap ke perut Sukab lalu turun hingga kebawah. Sukab terengah-engah. Miley menarik celana Sukab hingga ke paha dengan tiba-tiba. Tangan Miley semakin merajalela. Sukab tidak tahan lagi. Tiba-tiba ia berbalik dan tanpa bisa ditahan cairan putih menyembur keluar dari selangkangannya.

Miley yang tidak menyangka dengan gerakan Sukab yang mendadak itu, terjengkang didepan lutut Sukab. Lalu lengkingan suara memekakkan telinga membuat Miley berteriak panik, “Mama !”.

Sukab terhuyung. Tanpa sempat menoleh, ia terjungkang tak sadarkan diri.

Sebuah tendangan bertubi-tubi di bokongnya membangunkannya dari siksaan yang tak dimengertinya. Miley sudah tidak ada di atas dahan pohon jambu. Hanya Justin yang datang menjilat-jilat wajahnya. Ekornya bergoyang-goyang. Sesekali Justin menggeram, lalu kembali mengendus-endus wajah Sukab. Teriakan-teriakan di sekitarnya timbul tenggelam.

Sayup-sayup, di dengarnya seseorang berteriak-teriak mengabarkan Isa mati tapi bangkit lagi di ladang tengkorak. Orang-orang yang mendengarnya langsung lari meninggalkan Sukab begitu saja. Hanya Justin yang tinggal bersamanya. Saat itulah Sukab melihat Miley lagi. Datang mendekat dengan senyum yang itu lagi. Setengah sadar Sukab mendengar Miley mengulang-ulang kata yang sama.

“Ayolah Sukab, aku hanya ingin bermain-main dengan burungmu.”

“Biarkan aku bermain, Sukab.”

Rabaan tangan mungil itu kembali menggoda selangkangannya. Sukab menangis tanpa suara. Berganti-ganti ia melihat berbagai wajah aneh. Wajah-wajah berandal tak berbentuk. Sesekali ia melihat wajah Isa yang sudah bangkit dari kematian. Sukab berharap ia seperti Isa; Tapi Ia bukan Isa. Sukab hanya berharap, Justin bisa bicara. Mungkin hanya Justin yang bisa membuat Sukab mengerti.

Seketika Sukab melolong dengan suaranya yang seperti tercekik. Kesakitan tak terperi membuatnya sekarat. Dilihatnya tangan seseorang berlumuran darah. Di genggaman tangan orang itu terlihat mainan Miley. Mainan itu disumpalkan ke mulut Sukab. “Ini, hadiah untuk pedofil seperti kamu”. ***

Leave a Comment