Deddy Mizwar : "Saya Sudah Setengah Capek"

WAWANCARA

Yang ada sekarang lebih cocok disebut Festival Film Jakarta. Semua penilaian, film-film, tolok ukur, semuanya dilakukan di Jakarta.

LELAKI separuh baya itu mengerutkan kening. Baju cokelat bergarisnya terlihat lusuh. Topi dan sandal kulitnya tua dan berdebu. Ia asyik membaca koran. Tiba-tiba. Sssuuuttt…! Angin kencang menyambar. Daun-daun beterbangan. Lelaki separuh baya itu terjengkang dari kursi.

Cut! Adegan selesai.

Di bawah cahaya ribuan watt lampu Studio Kreasi, Halim Perdamakusuma, itu Deddy Mizwar yang memerankan adegan tadi dipapah bangun. Sambil tertawa, dia berjalan ke belakang kamera, ikut menyaksikan adegan untuk iklan motor tersebut. Sutradara rupanya tidak puas. Adegan yang sama diulang sampai tiga kali.

Deddy pun melakukannya tanpa wajah cemberut. Setiap kali selesai satu adegan, digunakannya untuk menikmati sebatang rokok atau ngemil sepotong roti yang disiapkan kru. Kalau tidak asyik bercanda dengan sesama kru, ia asyik memperhatikan kerja sutradara bule di belakang kamera.

Di sela-sela syuting iklan ini, Deddy menyempatkan diri mengobrol dengan wartawan Gatra, Krisnadi Yuliawan dan Asmayani Kusrini, pada Selasa sore pekan lalu. Berikut petikannya:

Anda banyak mendapat nominasi dalam FFI. Bagaimana menyikapi ini?

Menerima penghargaan itu hal biasa buat saya. Buat saya, yang penting adalah sistemnya. Katanya Festival Film Indonesia, tapi apa orang Makassar, Padang, Kalimantan terwakili? Yang ada sekarang lebih cocok disebut Festival Film Jakarta. Semua penilaian, film-film, tolok ukur, semuanya dilakukan di Jakarta. Ini yang agak kurang sreg di saya. Saya menganggap semua bentuk nominasi atau penghargaan itu sekadar apresiasi. Terima kasih. Tapi, apakah cukup sampai di situ? Kita kan ingin film Indonesia bener-bener milik orang Indonesia.

Pernah menyampaikannya ke panitia FFI?

Ngobrol iya, sekadar sumbang ide. Kalau memang mau bikin FFI, harusnya dibuat serius. Kalau mau dikalkulasi, berapa banyak bioskop di seluruh Indonesia? Kenapa jurinya hanya sedikit? Di Jakarta semua pula. Kenapa tidak dibikin sebuah sistem di mana setiap provinsi mempunyai 20 juri dari berbagai kalangan. Hasil penilaian mereka inilah yang dianalisis lagi oleh para juri ahli. Jadi, nggak perlu kayak sekarang. Bentuk panitia buru-buru. Mana bisa konsentrasi menilai filmnya? Kayak pola pemerintah aja. Kalau mau habis tahun anggaran baru, buru-buru bikin proyek.

Sistem seperti ini sudah bisa dijalankan?

Belum bisa. Pola pikir untuk menyelenggarakan FFI itu kan sekadar yang penting ada pemenang. Padahal, FFI itu harusnya adalah hasil yang dinilai oleh masyarakat. Ini bukan persoalan yang menilai harus ahli film. Bukan begitu. Kita kan mau film Indonesia itu menjadi milik masyarakat Indonesia dengan cara membuat mereka merasa memiliki. Harusnya, kalau memang mau bikin FFI, road show ke daerah-daerah. Kalau perlu, malam penganugerahannya setiap tahun beda kota. Sayang, sistemnya belum ada. Belum ada yang mikirin.

Artinya, sebuah penghargaan tidak lagi begitu berarti?

Tugas saya membuat film yang baik, dan saya berharap diapresiasi dengan baik juga. Saya membuat karya bukan karena mau fokus ke festivalnya. Saya lebih fokus pada proses. Kalau di festival, ada yang kalah ada yang menang. Itu semua sudah biasa saya alami.

Kecuali waktu kemarin dipanggil presiden, menurut saya, itu luar biasa. Karena seorang presiden menonton sebuah tayangan TV, dan sangat antusias mau ketemu. Itu sangat bermakna buat saya. Mungkin ini momen tepat di mana kita bisa membuat frame untuk budaya kita. Mungkin inilah frame televisi kita yang ideal. Selama ini, yang penting bagaimana mendapat rating tinggi. Mutu nomor dua. Tapi kita buktikan tayangan seperti ini bisa mendapat rating tertinggi, tapi juga berprestasi dan berkualitas. Kalau kita sudah mendapatkan frame, kita bisa mengukur ke mana arah kita.

Kenapa pindah ke sinetron?

Bagi saya, sinteron dan layar lebar sama saja. Semua hanya medium untuk ekspresi.

Waktu itu, kenapa mulai dengan tema religi?

Saya hanya gelisah. Waktu itu saya merasa, nilai-nilai agama menjadi distorsi dalam masyarakat. Bahwa agama atau hal-hal berbau religi identik dengan mistik semata. Padahal, agama menuntun kita di dunia, bukan di akhirat saja. Makanya, muncullah Lorong Waktu, Abu Mawas, atau Hikayat Pengembara.

Lorong Waktu dan Abu Mawas kan zaman ketika sinetron dan film belum kayak sekarang?

Dulu kegelisahannya dalam bentuk lain. Abu Mawas saya bikin karena saya merasa tayangan-tayangan pada masa itu tidak mencerminkan bahwa kita ini bangsa yang punya agama. Masyarakat kita terkenal sebagai masyarakat muslim, tapi pada waktu itu gambaran bahwa kita ini masyarakat muslim tidak terlihat sama sekali.

Sekarang beda lagi. Banyak orang yang tidak ngerti pun ikut membuat. Saya tidak menyalahkan karena mereka membuat itu tuntutan bisnis. Tapi di mana orang yang mesti bertanggung jawab terhadap agamanya. Ini kegelisahan saya.

Jadi, visi Anda membuat sinteron atau film bertema religi adalah bentuk tanggung jawab?

Saya ingin membuat sesuatu tentang agama untuk manusia. Saat ini, tidak ada bentuk-bentuk film yang membuat kita tahu orang Indonesia itu agamanya apa. Tidak jelas. Padahal, dasar negara kita Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kehilangan wajah. Sementara faktanya, di sudut mana pun di Indonesia ada masjid, ada musala, ada gereja. Itu tidak terekam, tak terasa dalam tayangan kita. Yang ada malah nakut-nakutin orang. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya bikin saja sendiri menurut versi saya.

Seberapa besar ini mengganggu Anda?

Ini bener-bener mengganggu. Begitu banyak orang membuat tayangan yang katanya bertema religi, tapi kok malah belok jadi mistik? Dimulai dari pemburu hantu, jin, dan lain-lain. Kalau membuat yang begitu, semalam dibikin bisa langsung jadi. Saya bikin saja hantu bertaring enam, mana ada yang tahu? Hantu aja difitnah, apalagi orang. Jadi, udah nggak adil. Saking mengganggunya, saya bilang, saya harus buat sesuatu menurut versi saya tentang agama.

Masa iya bikin karya bertema agama tapi sosialisasinya azab? Ada mayat yang nggak muat lubang. Di mana logikanya? Kalau mau ngubur mayat yang tinggi besar terus kuburannya kecil, ya, pasti nggak muat. Saya pernah bilang, kalau ada mayat yang nggak muat masuk ke lubang, bawa ke saya. Saya jamin masuk. Saya buatkan lubang yang besar. Pasti masuk.

Tayangan seperti ini menyesatkan. Mestinya, kan agama membawa manusia dari zaman kegelapan ke zaman terang. Selama dia memperbodoh orang, dia bukan siar, melainkan anti-agama.

Anda orang film sejak dulu dan mengalami pasang surut dunia peran. Bagaimana Anda melihat film kita?

Sekarang ada satu kebudayaan yang mengarah pada life style. Ada semacam dialektika budaya antar-zaman. Nggak apa-apa. Yang dulu belum tentu bener semua. Kita coba menciptakan dialog. Dulu sering disebut-sebut warisan ’45. Saya suka bingung. Apanya yang diwariskan? Bodohnya? Kalaupun film-film sekarang itu lebih banyak soal life style, mungkin memang karena zamannya seperti itu.

Problemnya, film kita tak lahir dari kegelisahan intelektual seperti itu?

Ini juga kegelisahan saya. Film kita sekarang hanya sebuah ornamen-ornamen life style. Bukan bicara manusianya. Tapi mungkin ini memang produk zaman. Kita sekarang dilimpahi begitu banyak informasi.

(Di tengah-tengah wawancara, tiba-tiba adegan selanjutnya bersama aktor kawakan Didi Petet harus dilakukan. Deddy kembali ke spot syuting di tengah-tengah gedung mirip hanggar itu. Kali ini, Deddy harus melanjutkan adegan awal tadi. Yaitu bangkit dengan bola mata berputar-putar sambil memegang kepala layaknya orang shock. Adegan ini lagi-lagi diulang. Toh, ekspresi wajahnya tak tampak kelelahan. Setelah itu, dia kembali menemui Gatra, dan langsung nyerocos lagi).

Kemarin ada yang bilang, habisin saja satu generasi Orde Baru. Wah, itu kan termasuk saya juga. Kita kok malah saling tuding, saling menyalahkan. Atau udah nggak ada cinta lagi. Apa nggak ada visi lagi?

Saya selalu memegang prinsip bermain bola. Kalau jadi penjaga gawang, jaga gawang jangan sampai kemasukan bola lawan. Itu saja sudah berjasa. Jangan bercita-cita ingin memasukkan gol ke gawang lawan. Yang bertugas untuk itu sudah ada. Kalaupun bisa bantu, ya, silakan.

Jadi, ada nilai-nilai yang fleksibel dan tidak kaku. Budaya kita kan sangat fleksibel. Belanda masuk aja kita nggak ngapa-ngapain. Kita terima. Jepang masuk, monggo. Itu budaya. Beda masuknya Amerika di tanah Indian. Kultur menolak itu bukan punya kita.

Seberapa sering Anda menonton film Indonesia sekarang?

Saya lumayan sering nonton juga. Apalagi sekarang banyak VCD-nya. Tapi, itu tadi, film life style semua.

Tapi, ini kan bukan problem baru?

Itulah makanya, sebaiknya kita tidak mengulanginya. Dulu, ada sebab, yaitu situasi politik saat itu tidak memungkinkan kita bicara. Makanya, Syumanjaya waktu itu bergerilya dengan Opera Jakarta dan Asrul Sani dengan Naga Bonar. Sekarang, pada saat kebebasan baru sudah terbuka, gejala itu hilang. Tapi, risikonya, nilai-nilai kehidupan, baik itu agama, budaya, impian, maupun visi sebuah bangsa jadi hilang.

Jadi, ceritanya Anda mengikuti jejak Asrul Sani?

Kalau dibilang saya mengikuti jejak Bang Asrul, tidak juga. Situasinya sudah beda. Asrul kala itu mengoreksi. Dia mau bilang, mari kita menoleh sejenak ke belakang, supaya kita tahu sejauh mana bangsa ini sudah melangkah. Jangan-jangan salah arah. Saya mencoba mencari tahu apa impian kita. Apakah benar impian kita ini? Kalau benar impian kita ini, akan ada sebuah proses yang sangat menyakitkan, ada pengorbanan. Apa kita mau?

Anda dekat dengan Asrul Sani?

Saya belajar banyak dari dia. Saya itu cucu murid sebetulnya. Cara belajar ke dia juga agak unik. Saya selalu mendebat. Salah-bener, saya nggak peduli. Apa pun kata dia, saya selalu bilang salah. Nah, kalau sudah dibilang salah, biasanya dia ngoceh. Sehabis dia ngoceh, kita serasa habis baca tiga buku. Prinsip keseniannya luar biasa. Dari muda sampai setua itu. Sampai tidak bisa jalan. Dan dia bisa menghidupi keluarga secara layak. Itu contoh yang luar biasa. Dia meninggalkan ilmu yang dia pelajari di sekolah untuk menekuni film. Karena ada keresahan terhadap apa yang dia lihat.

Anda merasa sekarang sedang mengikuti jejaknya?

Asrul Sani adalah Asrul Sani. Nggak bisa digantikan tempatnya. Wajah kita nggak pernah ada yang sama, bahkan untuk yang kembar.

Bagaimana Anda melihat film nasional selama dua tahun ini?

Saya kira, mereka juga mengalami sebuah proses pertarungan. Biarkan. Jangan divonis. Mereka sedang menjalani proses di zaman mereka. Salahnya cuma satu: saya masih hidup di zaman mereka. Kadang sulit saya mengerti, tapi saya harus bisa memahami.

Anda kan memulai sesuatu yang baru. Tapi kemudian terjadi keseragaman.

Saya kira tidak. Saya yakin, mereka juga punya kegelisahan, tapi belum tahu mau diwacana apa mereka bisa berbicara. Pertemuan dengan Pak SBY mungkin sebuah momentum gerakan kebudayaan. Ada sebuah strategi ke arah mana sebetulnya masyarakat kita ini mau dibawa. Sekarang kita menemukan sebuah frame.

Saya nggak percaya kalau film hantu adalah cerminan sebagian besar wajah bangsa ini. Masalahnya, mereka tak punya pilihan. Buktinya, begitu disodorkam Kiamat Sudah Dekat, mereka berbondong-bondong melihat. Dan mereka menyadari sebuah kekeliruan tentang tayangan yang lain.

Berikutnya ialah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan frame ini. Kita perlu kerja keras, kreatif, dan konsisten. Kita harus bersama-sama dengan industri TV mengerjakan ini.

 

(Lagi-lagi wawancara terpotong. Salah seorang kru datang untuk meminta kesediaan Deddy ”meminjamkan” kakinya untuk mengusir bebek.

 

“Abang mau, kan?”

“Tapi ngusir-nya cuma entak kaki doang, kan?” tanya Deddy

“Iya.”

“Gue nggak mau lho kalau harus nendang bebek. Itu tidak berperikebebekan namanya.” Deddy tertawa terbahak-bahak. Si kru mesem-mesem.

“Nggak Bang, entakan aja.”

“Oke kalau begitu.”

“Tapi Abang tanda tangan ini dulu, pernyataan bahwa Abang tahu risiko flu burung.”

“Oh ya?”

“Iya deh.”

“Tanda tangan, Bang.”

“Ya Allah. Iye, iye, gue tanda tangan. Nggak usah khawatir.”

Setelah itu, Deddy kembali bercerita kepada Gatra).

 

 

Sekarang strateginya sudah dapat. Frame-nya sudah ada. Keragaman bagaimana?

Saya bilang, tidak mudah bagi orang yang terbiasa menjiplak. Pekerjaan kreatif adalah sebuah pekerjaan sulit. Tapi jangan under estimate. Banyak teman kita yang kreatif tapi belum menemukan visi. Belum menemukan faktornya yang tepat. Saya tahu, banyak dari mereka juga yang gelisah masih bisa menemukan sesuatu. Karena itu, mari kita sama-sama.

Saya tidak percaya bahwa setiap kesulitan tidak ada jalan keluar. Kesulitan, menurut saya, adalah sebuah kendala yang mematangkan kita. Jadi, saya selalu berpikir positif. Jangan takut. Waktu masih terus berjalan. Kalau bukan kita yang melihat itu tumbuh, mungkin nanti anak dan cucu kita. Tapi kita wajib melakukan sesuatu yang mengarah pada suatu tujuan yang benar. Kalau tidak mulai dari sekarang, tidak akan bisa.

Tapi, sekarang film Indonesia kembali menunjukkan gejala penurunan?

Karena temanya tidak beranjak. Tidak ada jendela lain yang dilihat. Mungkin saya sudah tua, jadi seolah saya sudah banyak melihat. Tapi teman yang muda belum banyak yang dilihat, jadi mereka masih mencari di sana. Biarkan mereka, dukung. Pahami dunia mereka. Nanti mereka akan menemukan sendiri cara untuk menyampaikan apa yang mereka ingin sampaikan.

Kekhawatiran tema itu kemudian jadi mainstream?

Tidak apa. Tapi tetap dibutuhkan sebuah kerja keras. Perenungan, kepekaan, dan stabilitas. Silakan saja kalau mau bikin. Waktu yang akan menguji.

Saat ini, kan isu agama selalu dikaitkan dengan terorisme. Anda merasa ingin ikut bicara dalam hal ini?

Ingin, tapi saya tidak paham soal itu. Saya tidak mau ngomong sesuatu yang saya tidak paham. Lebih baik tidak bicara. Saya bicara Islam yang saya pahami.

Apa yang sekarang menjadi kegelisahan Anda?

Saya belum selesai. Saya belum seperti yang saya harapkan. Industri begitu rumit, tiba-tiba kita kesulitan sumber daya manusia. Saya sekarang lebih ke pendidikan. Mengadakan workshop, transfer pengetahuan. Saya sudah setengah capek. Saya pingin ada teman yang muda, yang baru, yang punya pandangan jernih tentang mengapa kita harus membuat sesuatu.

Nyambung atau tidak dengan anak muda sekarang?

Saya tidak berpikir begitu. Mereka berpikir sesuatu yang beda. Saya lebih ke bagaimana perbedaan itu dijembatani. Saya senang sama orang yang ingin belajar. Bukan hanya pengetahuan mereka yang bertambah, tapi sikap dalam menyikapi profesi. Harusnya sih banyak yang bisa.

Leave a Comment